Bab 4: Nyanyian Akar
Angin gunung membawa embusan dingin ketika Kael dan Aireen menuruni lereng dari Pohon Penjaga. Kabut tipis menggantung rendah, menyembunyikan langit yang perlahan merekah. Tapi tidak ada kabut yang cukup tebal untuk menghalangi mata-mata dari langit. Setidaknya, tidak hari ini.
Langit di atas Ladantara mulai berubah warna—dari biru kehijauan menjadi kelabu besi. Bukan karena cuaca, tapi karena sesuatu tengah turun dari orbit. Sebuah pertanda.
Kael menghentikan langkah. Mereka berada di jalur berbatu menuju tepi hutan luar, wilayah perbatasan yang nyaris dilupakan. Kabut bergulung seperti napas makhluk tidur, dan angin mendadak hening.
"Kau dengar itu?" bisik Kael.
Aireen menajamkan pendengaran. Awalnya hening. Lalu—dengung logam. Tinggi, menusuk. Bukan suara alam.
"Drone," gumamnya pelan.
"Berapa?"
Aireen mengaktifkan pemindai dari chip lamanya. "Dua. Model K-7. Mereka sudah mengunci posisi."
Kael menarik Aireen ke balik pohon beringin tua, batangnya penuh ukiran tangan-tangan kecil. Napas mereka saling berpaut—bukan karena takut, tapi karena mereka tak boleh ditemukan.
"Kalau mereka laporkan keberadaanmu, seluruh Nayanika akan tahu," kata Kael. "Dan Ladantara tidak siap."
Sinar biru menembus kabut. Dua drone berbentuk capung raksasa meluncur turun. Matanya menyala merah.
TARGET ACQUIRED.
"Aku bisa ganggu sistem navigasi mereka—" bisik Aireen, membuka antarmuka chip.
"Lakukan. Aku akan menahan mereka."
Kael melangkah maju. Matanya terpejam. Tangannya menyentuh tanah.
"Nyanyian Akar..."
Tanah bergetar halus. Akar-akar hitam menyembul dari tanah, bergerak seperti tentakel hidup.
Sinar laser pertama menembus kabut, nyaris menyambar pundak Kael. Tapi akar besar menghantam drone dari samping. Derak logam. Suara mesin mati.
Drone kedua mencoba menghindar. Aireen menekan tombol di chip-nya.
"Akses sistem—blokir navigasi... sekarang."
Drone kedua melambat sejenak. Akar kecil mencambuk sistem pendingin. Diseret. Ditelan tanah.
Aireen terpaku. "Akar itu... hidup."
Kael membuka mata. "Bukan hidup. Hanya... diingatkan."
Drone yang tersisa menyala merah—SELF-DESTRUCT INITIATED. Akar-akar membentuk perisai, menahan ledakan. Hanya kilat biru. Tak ada suara. Tak ada puing.
Keheningan kembali. Tapi tak lama.
Aireen menunduk, memegang tanah. Jemarinya bergetar. Ada getar halus seperti jantung bumi. Hangat.
Namun layar pemindai miliknya mulai berbunyi lirih. Titik-titik merah bermunculan di langit.
"Mereka tahu," bisiknya. "VIREX tak akan diam."
Kael menatap ke timur. "Kita harus ke Dinding Kabut. Tempat bumi menolak langit. Tanah akan mengujimu sebelum memberimu rahasia."
Kabut gunung menebal saat mereka menuruni lereng dari Pohon Penjaga. Setiap langkah menjauh dari reruntuhan drone dan mendekat ke wilayah yang lebih tua—Lembah Senyap, gerbang menuju Samudra Hitam.
"Kita masih diburu," kata Kael lirih. "Tapi tanah belum menyerah."
Aireen mengangguk. Tubuhnya mulai memahami irama bumi. Ia mulai mendengar apa yang dulu hanya berupa sunyi.
Bayangan kembali turun dari langit. Dua drone lain—pengganti yang lebih cepat. Mereka telah mendeteksi pola panas tubuh manusia.
"Kael..."
Ia menarik Aireen ke balik batu besar. Tapi satu drone sudah menembakkan sinar.
ZRAAK!
Sinar menyambar lengan Kael. Ia meringis, terhuyung.
"Tidak!" Aireen berlari ke arahnya. Ia melempar batu ke arah drone. Tak berguna, tapi cukup untuk mengalihkan.
Kael, berdarah, menanamkan lutut dan tangannya ke tanah.
"Tanah... izinkan aku bicara lebih dalam..."
Akar-akar mencuat. Lebih liar, lebih cepat. Mereka menyambar drone pertama, menghancurkannya dengan kekuatan marah.
Drone kedua mencoba kabur. Kabut pun bergerak. Jaring udara dari akar halus menjeratnya. Satu hentakan. Mesin itu runtuh.
Kael terhuyung. Napasnya berat. Aireen menopangnya, menariknya masuk ke gua kecil di balik air terjun kabut.
Kael pingsan. Aireen menyalakan api dari ranting basah. Di luar, malam turun lebih cepat.
Aroma tanah dan napas akar terasa lebih dekat dari apa pun yang manusia pernah ciptakan.
Aireen menatap Kael. Tangan Kael terbakar, tapi tetap memegang segenggam tanah.
Ia menggenggam chip tua dari ibunya. Tapi kini, getaran lain datang dari tanah—pelan, nyaris seperti bisikan.
Suara yang tak berasal dari alat. Bukan dari data. Tapi dari dalam dirinya sendiri.
"Jika ini awal dari kehancuran..." bisiknya. "Maka aku akan berdiri bersama yang bisa mendengar bumi bernapas."
🛰️ Sementara itu, di langit tinggi, mata VIREX terbuka lebih lebar.
DATA ANOMALI TEREKAM. AKSES TEKNIK BENTALA: NYANYIAN AKAR. LEVEL: TERBANGKITKAN.
SUBJEK: KAEL.
SUBJEK PENDAMPING: AIREEN VOS.
REKOMENDASI: OBSERVASI LANJUT, PROYEKSI PENGHAPUSAN AKTIF.
VIREX mengamati. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak mengerti sepenuhnya apa yang dilihatnya.
Langit menyiapkan balasannya.
Komentar
Posting Komentar