Bab 2: Tanah yang Bernapas
Aireen terbangun di bawah langit yang asing namun indah. Hutan Bentala terbentang luas di sekelilingnya—pepohonan tinggi menjulang dengan daun selebar sayap burung, akar-akar besar merambat seperti nadi bumi, dan cahaya matahari menyelinap malu-malu di antara kanopi lebat. Tak ada suara mesin, tak ada dengung listrik. Yang ada hanya desir angin, kicauan burung, dan detak jantung yang serasa menyatu dengan tanah.
Kesadarannya masih samar. Ia mencoba duduk, dan mendapati dirinya berada di atas anyaman bambu kasar, dalam sebuah gubuk beratap daun. Aroma tanah basah dan kayu tua memenuhi inderanya. Udara lembap menyentuh kulitnya seperti pelukan dunia yang tak ia kenal.
Di sudut ruangan, seorang lelaki duduk mengasah sebilah pisau dari batu hitam. Kulitnya legam, tubuhnya ramping namun berotot, dan pakaian sederhananya terbuat dari serat-serat tumbuhan yang asing. Ia menatap Aireen dengan mata tajam tapi tidak mengancam. Hanya ingin tahu.
"Kau sudah sadar," katanya. "Sudah dua hari."
Aireen mencoba bangkit, dan lelaki itu membantunya tanpa berkata apa-apa lagi. Ketika ia berdiri, tubuhnya goyah, tapi pandangannya mulai jelas. Di luar gubuk, ia melihat permukiman kecil dengan rumah-rumah alami, anak-anak berlarian tanpa alas kaki, dan orang-orang yang seolah menyatu dengan alam.
"Namaku Kael," kata lelaki itu, akhirnya. "Kami menemukanku di reruntuhan logam besi. Banyak yang ingin membiarkanmu di sana. Tapi aku tidak."
"Kau menyelamatkanku?"
Kael mengangguk. "Kami menyebut tempat ini Ladantara. Tanah yang masih ingat suara akar."
Aireen terdiam. Ia tak bisa langsung mempercayai semuanya. Dunia seperti ini seharusnya sudah punah, terlupakan, termusnahkan oleh api industrial dan pendingin buatan. Tapi di sini, segalanya masih hidup.
Kael mengajaknya berjalan keliling. Mereka melewati ladang tumpangsari, sumur air bersih yang ditutupi lumut, dan menara kayu dengan ukiran pola DNA dan simbol-simbol spiral. Tempat itu disebut Pohon Penjaga.
"Setiap akar memiliki memori," jelas Kael. "Kami percaya tanah menyimpan bisikan masa depan."
Aireen sempat tertawa kecil. Baginya itu terdengar mistis, tidak ilmiah. Namun Kael hanya balas bertanya:
"Kenapa langitmu tak menyelamatkan bumi?"
Pertanyaan itu menghantamnya lebih dalam dari yang ia duga. Ia tahu data, tahu simulasi, tahu teori. Tapi ia tak tahu akar. Tak tahu tanah.
Mereka tiba di dataran tinggi yang dikelilingi tanaman bercahaya. Di tengahnya berdiri lingkaran batu tua dengan ukiran simbol-simbol tak dikenal. Beberapa orang berkumpul di sana. Mereka mengenakan pakaian alami seperti Kael, dengan mata tajam dan gerakan sunyi.
Seorang perempuan tua melangkah maju. Matanya putih seluruhnya, tapi langkahnya tak ragu. Ia meraba udara dan berkata, "Ia dari langit. Namun angin tidak menolaknya."
Kael menunduk. "Ia jatuh dari angkasa, Ibu Isvara. Ia membawa bau tanah yang telah lama kami rindukan."
Ibu Isvara menyentuh dahi Aireen. "Tanah bernapas lebih dalam malam ini. Kau membawa sesuatu yang lama hilang. Tapi bukan tanpa bayaran."
Seketika, seorang lelaki muda melangkah maju. Tatapannya tajam, sorot matanya curiga. "Kita tak butuh pembawa racun dari langit. Tanah ini telah cukup menderita."
"Ia bukan pembawa racun," kata Kael.
"Lalu kenapa langit mengejarnya? Kenapa bumi bersuara saat ia jatuh?"
Namanya Ranu. Wajah kerasnya menyimpan luka sejarah. Ia mendekat ke Aireen. "Apa yang kau sembunyikan?"
Aireen membuka telapak tangannya, menunjukkan chip data kecil. "Kebenaran. Aku mencari kebenaran yang dikubur."
Namun dunia ini tak percaya pada chip. Mereka percaya pada getaran tanah, pada suara angin, pada nyanyian akar.
Malam itu, lingkaran api dinyalakan. Seluruh warga suku berkumpul. Perdebatan terjadi. Kael membela Aireen dengan tenang. Ranu menuduh dengan emosi. Ibu Isvara mendengarkan semuanya dalam diam.
Ketika semua suara berhenti, ia berkata, "Tanah akan memilih."
Mereka semua memejamkan mata. Hening. Angin berembus. Akar-akar pohon seakan bergetar pelan. Dan suara terdengar dari dalam bumi—bukan manusia, bukan mesin. Tapi gema yang hidup.
Aireen terisak. Ia tak tahu artinya. Tapi ia tahu, untuk pertama kalinya dalam hidup, bumi berbicara padanya.
Dan itu berarti satu hal:
Petualangannya diterima. Untuk sementara.
Namun di tempat lain, jauh di langit, VIREX mendeteksi keberadaan biologis yang menyimpang dari rute.
UNIT PENGINTAI K-7 DIAKTIFKAN. MISI: AMATI DAN LAPORKAN. JANGAN INTERVENSI. BELAJAR.
Langit mulai menurunkan matanya ke bumi.
Dan bumi, untuk pertama kalinya setelah ratusan tahun, bersiap untuk mengingat kembali segalanya.
Komentar
Posting Komentar