Postingan

Bab 5: Retakan di Langit Pagi

Ia datang sebelum dunia membuka mata. Langkahnya ringan, seperti hujan yang belum jadi. Aku melihatnya—seperti biasa—berdiri di hadapanku. Wajahnya menghadap ke luar, ke kota yang masih dibalut kabut, tapi aku tahu: yang ia lihat bukan langit. Melainkan bayangan dirinya sendiri, yang tak sempat tumbuh perlahan. Mereka menyebutnya keajaiban. Anak yang serba bisa. Yang menyanyi tanpa goyah. Menari tanpa jeda. Tersenyum tanpa retak. Tapi aku, sang jendela tua yang menghadap panggung dan ruang latihan, tahu: tidak semua yang bersinar, ringan untuk dibawa. Tidak semua yang sempurna, bahagia untuk dijalani. “You are the cause of my euphoria…” Ia menyanyikannya sambil menatap langit yang belum biru. Tapi nada itu terdengar seperti doa yang belum dijawab. Seperti harapan yang ia tulis untuk dirinya sendiri, agar suatu hari, ia percaya ia pantas merasakannya. Ia mengira euforia adalah senyuman penonton, tepuk tangan panjang, mata kamera yang mengejarnya. Tapi ketika semua i...

Bab 4: Suara yang Ia Bisukan

Ada momen di mana jendela tak bisa menahan embun yang menumpuk. Ia hanya bisa diam, menatap dunia yang mulai kabur. Aku melihatnya lagi hari itu. Di pagi yang seharusnya riang, ia berdiri mematung di tengah ruangan latihan. Musik sudah mati, tapi ia belum berhenti menari. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar, dan senyuman kecil itu—yang biasa ia suguhkan pada dunia—tak juga muncul. Mungkin sudah lelah dipaksa hadir. "Aku harus ulang. Aku salah di bagian tengah." Tidak ada yang menyuruhnya. Tidak ada yang menuntutnya. Tapi ia tetap memutar ulang musik, lalu mengulang gerakan yang tadi sudah ratusan kali ia eksekusi. Bahkan saat teman-temannya pulang satu per satu, ia masih di sana. Menari, jatuh, bangkit, dan menari lagi. Aku ingin bertanya: Apakah kamu tidak lelah menyiksa dirimu sendiri, Nak? Tapi aku hanyalah jendela. Aku tak punya suara. Malam itu, ia duduk di pojok dorm, sendirian. Tangannya meremas lembaran kertas berisi lirik yang ia tulis sendiri. "Aku berb...

Bab 3: Senyum yang Ia Pinjamkan pada Dunia

Ada seorang anak laki-laki yang selalu tersenyum. Setiap kali seseorang melihatnya, mereka merasa hangat, seperti matahari pagi yang malu-malu tapi tulus. Tapi tahukah kalian, matahari pun bisa bersembunyi di balik mendung? Aku jendela yang melihatnya tumbuh, hari demi hari. Ia tidak pernah terlambat masuk studio. Bahkan ketika tubuhnya gemetar karena demam, ia tetap datang. “Aku baik-baik saja,” katanya, padahal wajahnya pucat dan matanya kosong. Ia bilang, senyum bisa menenangkan orang lain. Tapi bagaimana dengan dirinya sendiri? Hari itu, lagu berjudul Lie mulai dimainkan di ruang latihan. Bait demi baitnya terdengar seperti jeritan yang tertahan: "Caught in a lie, please find the me who was pure, I can’t escape from this lie, give me back my smile." Aku menatapnya lewat pantulan kaca jendela saat ia menari. Sempurna di mata siapa pun. Tapi aku tahu, dia tidak menari untuk bahagia. Ia menari agar bisa melupakan kenyataan—bahwa dia merasa kecil di tengah sorotan, ba...

Bab 2: Cahayamu Padam Sementara

 Ada hari-hari ketika bahkan matahari pun tidak muncul. Bahkan cahaya yang paling terang pun bisa kehilangan cahayanya. Dan aku, sang jendela, melihatnya untuk pertama kalinya: hari di mana ia tak datang. Ruang ini sepi. Speaker tetap diam. Lantai tak merasakan dentuman kaki. Waktu berlalu, tapi tak ada siapa-siapa di sana untuk memecah senyap — dan aku merasa patah tanpa suara itu. Beberapa hari kemudian, ia kembali. Tubuhnya hadir, tapi jiwanya entah di mana. Mata yang biasanya menyala kini surut, bahunya seperti kehilangan langit yang dulu ia bawa sendiri. "Hari ini aku gak bisa pura-pura senyum." Ia bicara pelan, seperti sedang meminta izin. “Kalau aku terus pakai topeng, nanti aku lupa caranya jadi manusia.” Kalimat itu seperti kabut yang melayang di kaca tubuhku. Dingin. Tak terlihat. Tapi menyelimuti segalanya. Aku melihat ia menekan tombol di speaker, dan lagu yang keluar berbeda dari biasanya. “I’m fine, I’m fine, I’m fine…” Ironi itu menyaya...

Bab 1: Harapan yang Lelah

Aku adalah jendela. Bukan yang dibuka untuk melambaikan tangan kepada dunia, bukan pula tempat cahaya pagi masuk membawa pesan cerah. Aku hanya jendela tua, bingkai berdebu di ruang latihan kecil yang tak pernah benar-benar tidur. Tapi dari sinilah aku melihatnya — seseorang yang katanya adalah harapan. Ia datang lebih awal. Seperti biasa. Sendiri. Seperti biasa. Langkahnya cepat, tapi sepi. Matanya terjaga, tapi lelah. Ia meletakkan botol air, menyalakan speaker, dan lagu itu mulai mengalun: “Just dance…” Langkah demi langkah, gerakan demi gerakan, ia menari seperti tubuhnya adalah instrumen yang hanya mengerti kata "terus." Ia tersenyum. Selalu tersenyum. Tapi aku tahu: senyum itu bukan tawa. Itu tameng. Tak ada yang tahu betapa sering ia mengulang bagian yang sama. Tak ada yang tahu seberapa banyak keringat yang jatuh sebelum sorotan lampu. Tak ada yang tahu bahwa kadang — bahkan harapan pun ingin istirahat. Ia berhenti sejenak, memutar tubuh menghadapk...

THE WINDOW

  Prolog – Aku Sang Jendela Aku bukan siapa-siapa. Hanya sebuah jendela tua di sudut ruangan yang tak pernah benar-benar sunyi. Tak ada yang memperhatikanku. Tak ada yang menyapaku. Tapi aku di sini, sejak awal. Menyaksikan segalanya dalam diam. Langkah kaki pertama. Nafas yang terengah. Isak yang tertahan. Tawa yang dipaksakan. Tangan yang saling menggenggam di tengah ketidakpastian. Aku melihat tujuh bayangan datang satu per satu. Tak serempak. Tak selalu bersama. Tapi perlahan, mereka belajar untuk saling menunggu. Mereka bukan cahaya dari awal — mereka hanya warna-warna luka yang masih mencari tempatnya. Lalu badai datang. Berulang kali. Membuat dinding bergetar, lantai basah, dan udara menusuk. Tapi mereka tidak pergi. Dan setelah semua itu… pelangi itu tumbuh. Tepat di hadapanku. Jika aku bisa bicara, aku ingin memberitahumu tentang mereka — warna-warna yang jatuh, hancur, bangkit, dan akhirnya menyatu menjadi satu langit penuh harapan. Karena pelangi tak per...

Bab 12: Tanah yang Bernapas Kembali

Langit tidak lagi menekan. Setelah Omega lenyap dan resonansi terakhir mengalir ke seluruh penjuru bumi, udara berubah. Tidak lagi terasa dingin karena kehampaan, tapi hangat karena dipenuhi niat. Cahaya pagi perlahan menyelinap di antara dahan-dahan hutan purba, menari di atas tanah yang dulu kering dan sekarang mulai berdenyut lembap. Aireen berdiri perlahan. Tubuhnya lemah, tapi matanya menyala. Di balik luka-luka yang belum sepenuhnya sembuh, ia merasa lebih hidup dari sebelumnya. Di sekelilingnya, para penjaga Bentala mulai keluar dari kubah akar perlindungan, satu per satu menyentuh tanah dengan kepala tertunduk. Mereka tahu—bumi telah memilih untuk hidup kembali. Isvara mendekat, menggenggam tangan Aireen tanpa kata. Tak perlu kata. Yang tertinggal hanya rasa. Dari langit, cahaya-cahaya kecil jatuh perlahan. Bukan senjata. Bukan drone. Tapi kapsul-kapsul pengungsian yang terbuka perlahan seperti kelopak bunga yang menyerah pada cahaya. Dari masing-masing kapsul, manusia Nayanika...