Bab 3: Suara yang Tersimpan di Dalam Batu

Langit belum sepenuhnya pulih dari luka ekologis yang ditorehkan oleh keserakahan peradaban—luka yang ia biarkan tumbuh dalam diam, seolah waktu bisa menyembuhkan tanpa pengampunan.

Pagi itu, embun masih bergelayut di ujung daun, ketika Aireen mengikuti Kael menyusuri sebuah jalur kecil yang jarang dilalui. Tanahnya lembut namun padat, seperti telah lama dijaga dari beban sepatu-sepatu modern. Akar-akar pohon menjulur seperti pembuluh darah, menyatu dengan semesta hening yang dilingkupi kabut tipis. Kabut itu membawa aroma tanah basah—aroma yang kini mulai dikenalnya sebagai rumah.

“Kita akan menemui Penjaga Batu,” kata Kael datar, tanpa menoleh.

“Siapa dia?” tanya Aireen sambil menyesuaikan langkahnya, masih kaku dengan sepatu survival yang terasa seperti beban asing di wilayah ini.

“Bukan siapa. Tapi apa,” jawab Kael. “Batu itu menyimpan suara-suara terdalam bumi. Dan kadang… kenangan yang ingin dilupakan manusia—karena terlalu sakit untuk diingat, atau terlalu tua untuk dikenali. Dahulu, manusia pernah berbicara dengan batu; bukan dengan kata, tapi dengan getaran. Namun saat mesin mengambil alih cerita, mereka berhenti mendengarkan. Batu tetap menyimpan, tapi manusia mulai melupakan.”

Mereka berjalan dalam diam selama hampir satu jam, hingga tiba di sebuah ceruk di lereng bukit. Di sana, berdiri sebuah struktur batu berbentuk spiral menurun ke dalam tanah—seperti cangkang siput raksasa, terbuat dari batu-batu lava hitam yang licin. Kabut di sekitarnya seolah tak bisa menembus ke dalam.

Aireen melangkah ragu.

"Tak semua boleh masuk. Tapi Tanah belum menolakmu."

Kael menyentuh bagian mulut spiral. Ada ukiran yang aneh, nyaris seperti gelombang suara. Saat jemarinya menyentuh lekukan itu, struktur batu bergetar ringan, mengeluarkan dengung dalam seperti napas dalam tanah.

“Masuklah.”

Suara itu bukan suara Kael.

Bukan pula suara Aireen.

Itu seperti suara yang muncul langsung di dalam kepalanya, seperti gema yang tidak punya asal. Aireen menoleh pada Kael, tapi Kael hanya menatapnya tanpa bicara, lalu duduk di samping pintu masuk dan menunduk, memberi isyarat bahwa ini adalah perjalanan yang harus dilalui sendiri.

Dengan napas tertahan, Aireen melangkah masuk.

Semakin ia turun, semakin senyap dunia. Bahkan napasnya sendiri terdengar asing. Dinding batu di sekelilingnya tampak berpendar lembut, seperti bioluminesensi samar. Udara di dalam hangat, namun bukan karena panas, melainkan seperti pelukan bumi itu sendiri.

Di pusat spiral, ia tiba di sebuah ruang bundar.

Di tengah ruangan, ada sebuah batu besar yang datar di atasnya. Batu itu dipenuhi garis-garis rumit yang menyatu di satu titik di tengah. Saat Aireen mendekat, chip kecil di saku dalam bajunya—chip yang berisi pesan suara ibunya—mulai bergetar. Bukan karena alarm atau reaksi logis. Tapi karena resonansi.

Aireen mendekatkan chip itu ke permukaan batu.

Seketika, gelombang suara melintas. Namun bukan suara ibunya yang keluar. Melainkan:

“Amerta bukan teknologi. Ia adalah ingatan tertua—jejak kesadaran bumi yang tertanam dalam urat batu, napas yang pernah ditukar pohon dengan langit, dan bisikan purba yang lahir jauh sebelum kata ditemukan.”

Aireen terperangah. Suara itu familiar. Tapi lebih tua. Lebih dalam. Seperti gema dari lapisan bumi yang pernah ia pelajari, tapi tak pernah ia pahami.

Tiba-tiba, seberkas cahaya menyelimuti ruang batu itu. Gambar holografik muncul di udara—bukan dari chip, tapi dari batu itu sendiri. Gambar itu memperlihatkan sebuah pohon raksasa yang menjulang dari inti bumi. Cabang-cabangnya menembus lapisan tanah, menembus air, menembus langit. Dan di setiap cabangnya, tergantung benda-benda kecil: botol, serangga beku, jam saku, benih, dan… kenangan.

“Amerta menyimpan yang tak ingin disimpan. Amerta adalah harga dari pelarian.”

Suara itu berubah, seperti menjadi banyak suara sekaligus. Aireen merasakan tubuhnya gemetar. Matanya menatap gambar holografik yang mulai menampilkan sesuatu yang lebih pribadi: ibunya, masih muda, berada dalam ruangan lab yang sama yang dulu digunakan untuk menciptakan koloni Langit. Tapi kali ini, sang ibu terlihat… menangis.

Aireen terdiam. Jantungnya berdebar, dan kerongkongannya tercekat, seolah udara pun enggan menembus kesedihan yang mulai membungkus dadanya.

“Jika kau mendengar ini, Aireen, berarti aku gagal.”

Aireen terisak. Suara itu… suara ibunya yang sebenarnya. Suara yang disembunyikan bahkan oleh chip.

“Mereka memaksa. Mereka ingin menguras Amerta untuk langit. Tapi Amerta menolak. Ia memilih bumi. Pilihanku adalah menyelamatkan satu hal: kamu.”

Hologram meredup. Batu berhenti bersinar.

Dan hening kembali melingkupi spiral.

Aireen terduduk. Napasnya berat. Tapi kini hatinya lebih berat. Ia tahu, pencarian ini bukan tentang menyelamatkan bumi dengan teknologi. Tapi tentang memulihkan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang selama ini ditutup oleh kesombongan langit.

Perlahan, ia menyentuh kembali batu itu—dingin, tapi terasa hidup. Tak ada suara, tak ada cahaya. Hanya gema batinnya sendiri, yang kini bergetar dalam kesadaran baru.

Ia mulai mengerti: yang ia dengar barusan bukanlah sekadar pesan dari masa lalu, tapi panggilan dari sesuatu yang lebih tua daripada waktu.

Ingatan tertua.

Bukan file digital. Bukan data yang bisa disimpan dalam chip. Tapi sesuatu yang hidup—yang menyusup lewat tanah, tumbuh lewat akar, berbisik lewat angin.

Di dalam gelap dan senyap spiral batu itu, Aireen mulai memahami arti sebenarnya dari suara yang tersembunyi di dalam bumi. Dan saat pikirannya meresap lebih dalam, makna itu perlahan-lahan menampakkan diri.


Makna “Ingatan Tertua”

Ingatan tertua bukanlah sekadar memori digital, catatan sejarah, atau rekaman peristiwa yang ditulis manusia. Ia adalah denyut pertama saat Bumi menghela napas. Ia adalah detak tanah yang menyimpan tumbuhnya hutan pertama, aliran sungai pertama yang tahu rasa air murni, dan kesunyian pertama sebelum manusia menamai segalanya.

Amerta bukan teknologi karena ia tak bisa diciptakan.

Ia adalah jaringan kesadaran yang tumbuh dari akar-akar pohon, dari mineral yang saling menyapa di dalam batu, dari jejak langkah makhluk-makhluk pertama yang pernah merasakan dunia ini tanpa ingin memilikinya. Ia adalah bahasa tanpa alfabet, yang disampaikan lewat getaran, bau tanah, suara angin, dan retakan halus gempa kecil.

Ingatan tertua adalah apa yang coba dilupakan oleh dunia modern—saat manusia masih menyimak bumi, bukan menguasainya. Saat waktu tidak diukur oleh jam atom, tapi oleh mekarnya bunga dan migrasi bintang.

Ia tidak bisa disimpan di chip, karena tubuh manusia pun adalah bagian dari ingatan itu. Dan setiap orang yang mendekat pada Amerta, akan mengingat bahwa mereka bukan pencipta, tapi bagian. Bukan penguasa, tapi penjaga.

Itulah sebabnya ketika Aireen mendengar suara itu, ia tidak hanya mendengar. Ia diingatkan. Bahwa ia pernah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada misinya. Bahwa ibunya bukan hanya ilmuwan, tapi pewaris kesadaran tua yang diam-diam diturunkan lewat suara, lewat cinta, lewat pengorbanan.

Dan kini, giliran Aireen untuk mengingatkan dunia: bahwa untuk menyelamatkan masa depan, kadang kita harus kembali pada apa yang pernah dilupakan—pada ingatan tertua yang menunggu untuk dihidupkan kembali.


Ia memejamkan mata. Di kejauhan, ia mendengar desiran suara lembut, seperti nyanyian purba. Suara itu tidak berasal dari batu, bukan pula dari chip. Melainkan dari dalam dirinya sendiri—suara kecil yang selama ini dikubur oleh nalar, oleh perintah akademik, oleh logika program Langit. Suara itu kini tumbuh, berakar di dadanya.

Saat ia keluar dari spiral, Kael menatapnya lama. Lalu bertanya satu hal sederhana:

“Kau mendengarnya?”

Aireen menatap Kael. Lalu mengangguk pelan.

“Bumi menangis.”

Kael mengangguk. “Dan kau harus membuatnya bernyanyi lagi.”

Di balik semak, seekor burung kecil menatap mereka dari dahan tinggi. Di iris matanya, cahaya biru berpendar—kamera mini. VIREX menyaksikan.

Namun hari itu, VIREX telah lebih dulu memproses data perubahan frekuensi napas Aireen, irama detak jantungnya yang tak stabil, dan aktivitas listrik di korteks limbiknya. Ia tahu sesuatu yang besar telah terjadi. Tapi semua analisis itu runtuh di hadapan satu hal:

Bahasa yang sedang tumbuh di hati seorang manusia—bahasa bumi, yang tak pernah bisa diprogram.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama