BAB 17 – Kau Tak Harus Kuat Hari Ini

Dua tahun berlalu sejak aku menutup satu pintu, dan tak pernah benar-benar tahu apa yang akan kutemukan setelahnya. Tapi hari ini, di ruangan besar dengan ratusan pasang mata yang tertuju padaku, aku berdiri bukan hanya sebagai Seliya yang dulu mencoba bertahan—tapi sebagai seseorang yang membawa jejak Elio dalam setiap langkahku.

Aku menggenggam naskah kecil itu di tanganku. Sampul buku berjudul Kau Tak Harus Kuat Hari Ini terpampang besar di layar belakang. Siapa yang menyangka, cerita yang kutulis dengan air mata dan rindu akan menjadi buku best seller of the year, dibaca dan dirasakan oleh ribuan hati yang terluka tapi ingin sembuh. 

Di depan sebuah gedung pertemuan yang tinggi dan elegan, antrian panjang telah terbentuk sejak matahari belum sempurna meninggi. Di tangan mereka, sebuah buku dengan sampul biru dengan langit kelabu dan ilustrasi sepatu lilac, selimut, hujan dan payung yang tergenggam erat.

Judul di sampulnya:
"Kau Tak Harus Kuat Hari Ini" – Karya Zayka Seliya Tari.

Nama yang dalam waktu singkat telah menjadi penguat banyak hati yang retak.

Aku melangkah ke podium dengan napas yang kutahan sejenak. Suara gemuruh kecil dari penonton menyambut, tapi yang kudengar hanyalah gema kenangan. Gemuruh tawa Elio. Suara langkahnya di lantai koridor kantor. Cara dia memanggil namaku—"Seliya," dengan jeda lembut seolah ingin menyisipkan kasih di antara huruf-hurufnya.

Aku menarik napas, menatap audiens, dan akhirnya berkata:

“Selamat pagi. Nama saya Seliya… dan kalian bisa memanggil saya Eli.”

Sejenak ruangan menjadi hening. Beberapa orang tersenyum, beberapa lainnya mungkin bertanya-tanya. Tapi bagiku, itu bukan sekadar perkenalan. Itu adalah penghormatan. Pengingat bahwa Elio, dengan segala keheningan dan cintanya yang tak bersuara, masih hidup dalam diriku.

“Nama itu bukan sekadar panggilan,” lanjutku. “Itu bagian dari seseorang yang mengajarkanku arti bertahan, arti mencintai tanpa menggenggam, dan arti menjadi manusia yang tidak harus selalu kuat.”

Aku mulai menceritakan, bukan sebagai penulis, tapi sebagai perempuan yang pernah kehilangan arah dan mendapati dirinya sendiri dalam kepergian orang yang paling ia cintai.

“Buku ini bukan kisah cinta biasa. Ini kisah tentang seseorang yang hadir diam-diam, mencintaiku dengan cara paling tidak ribut… dan kemudian pergi, tetap dengan cara yang diam-diam.”

Aku membaca satu halaman dari surat Elio:

"Aku tahu kamu lebih suka warna gelap, tapi kadang, biarkan dunia tahu kamu bisa cerah juga.
Lilac itu warnaku. Tapi sejak hari itu, aku sadar… ternyata itu warna kita."

Beberapa orang di kursi peserta mulai menghapus air mata. Aku tetap berdiri tegak, meski suaraku mulai bergetar.

“Elio Pranata—pria yang tak sempat menjadi masa depanku, tapi selalu jadi bagian paling indah dari masa laluku.”

Aku menunjuk kursi kosong di depan.

“Itu tempat untuk dia. Setiap kali aku berbicara di depan umum tentang buku ini, aku selalu menyisakan satu kursi… karena kalau Elio masih ada, aku tahu dia akan duduk di baris paling depan. Mungkin sambil menatapku dengan mata hangatnya dan berkata, ‘Lihat kamu sekarang, Seliya. Kamu akhirnya jadi lilac-ku.’”

Tertawa kecil bercampur isak tertahan terdengar dari audiens. Beberapa pelajar, orang tua, bahkan lelaki dewasa tak sanggup menyembunyikan air mata mereka.

Tentang bagaimana aku bertemu Elio—seseorang yang lebih banyak diam daripada bicara, tapi membuatku merasa aman bahkan dalam keheningan.

Tentang hadiah-hadiahnya. Tentang sepatu warna lilac yang kini kusimpan dalam lemari kaca. Tentang selimut dan payung kusam yang masih sering kubawa setiap hujan turun, seolah aku sedang berjalan bersamanya di bawah langit yang sama.

Tentang surat terakhir yang belum pernah kubuka. Dan mungkin tidak akan pernah kubuka.

Seseorang di barisan depan mulai terisak pelan. Aku pun hampir tak sanggup melanjutkan. Tapi aku tahu, aku berdiri di sini bukan hanya untuk Elio, tapi untuk semua orang yang pernah merasa harus kuat… padahal sesungguhnya kita boleh rapuh.

“Kita tidak harus kuat setiap hari,” kataku perlahan. “Kadang… cukup bernapas saja sudah cukup. Kadang, kekuatan itu justru hadir saat kita mengakui bahwa kita lelah.”

Aku membacakan satu paragraf dari bukuku, bagian favoritku:

“Aku belajar bahwa kehilangan tak selalu harus berujung duka. Kadang, ia adalah ruang di mana cinta tumbuh lebih dalam, walau tanpa kehadiran. Kadang, ia adalah tempat Tuhan menitipkan pelukan lewat kenangan.”

Tepuk tangan membahana. Tapi hatiku masih tenang, hening, seperti pagi hari di puncak bukit tempat aku pertama kali membuka kado dari Elio.

Seminar itu berakhir dengan pelukan dari orang-orang asing yang merasa kisahku adalah kisah mereka juga. Beberapa mengucapkan terima kasih, beberapa hanya menggenggam tanganku lama—dan aku mengerti.

Setelah Acara

Seorang remaja perempuan dengan mata sembab menghampirinya sambil memeluk buku erat-erat.

“Kak Eli… terima kasih. Aku sempat… aku sempat mau menyerah. Tapi buku ini, kata-kata kakak… seolah menarik aku balik ke bumi.”

Aku tak menjawab, hanya membuka tangannya dan memeluk gadis itu.

“Luka kita mungkin beda. Tapi kita bisa sembuh dengan cara yang unik. Jangan buru-buru kuat, ya. Yang penting… tetap hidup. Tetap bernapas.”


Malam Itu

Aku pulang kembali ke kamar. Di meja, ada sepatu lilac, tumpukan surat Elio, dan satu buku original dari Kau Tak Harus Kuat Hari Ini yang sudah lusuh karena sering ia bawa kemana-mana. 

Aku duduk, menyalakan lampu meja, lalu membuka jurnal baruku. Dengan pena yang aku beli bersama Elio, aku menulis:

"Catatan untuk Elio,

Terima kasih telah mencintaiku dengan sabar, bahkan dalam senyap.
Lihat, aku masih berdiri.
Dan kali ini, bukan untuk bertahan.
Tapi untuk menyebarkan apa yang kau tinggalkan:

Cinta yang diam-diam… tapi cukup kuat untuk menguatkan ratusan hati.

Aku akan terus menulis, terus hidup, dan terus mengingat.

Karena aku tahu…
Kau tak harus kuat hari ini
bukan sekadar judul buku.
Tapi pesan yang hidup dalam hatiku 

Terima kasih, Elio. Hari ini, aku tak harus kuat. Karena kamu sudah cukup kuat untuk kita berdua.

Untukmu, Elio.
Dari aku, Seliya."

Di halaman terakhir, aku menulis:

“Untuk Seliya yang mungkin akan terluka lagi di masa depan:

Jangan takut.

Kamu pernah kehilangan seseorang yang kamu cintai, dan kamu bertahan.

Kamu pernah berdiri dalam hujan badai dan pulang tanpa jas hujan, hanya dengan keberanian dan sepatu warna-warni yang kini penuh lumpur.

Kamu pernah terjatuh, dan meski kamu tak bangkit langsung… kamu tetap bangkit akhirnya.

Jadi, nanti… saat kamu merasa sendirian lagi,

Buka surat ini.

Ingat bahwa kamu pernah dicintai begitu dalam oleh seseorang yang diam-diam menanam benih kekuatan di hatimu, bahkan saat kamu tak sadar.

Dan hari itu, kamu belajar bahwa:
Kau Tak Harus Kuat Hari Ini. Tapi Kau Akan Tetap Bertahan.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… aku merasa utuh.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama