Bab 16: Hujan yang Tidak Pernah Usai

Kotak terakhir terletak sendirian di meja kecil di samping tempat tidurku. Tak terbungkus rapi seperti dua sebelumnya. Hanya dibalut kain tipis dan pita sederhana yang sudah mulai pudar warnanya. Tak ada label, hanya sebuah payung kusam di dalamnya—duduk diam, seperti menunggu sesuatu yang tak akan kembali.

Aku tidak langsung menangis.

Aku hanya menatapnya. Lama.

Payung itu bukan sembarang payung. Aku mengenalnya. Payung inilah yang kami pakai saat pertama kali jalan bersama dari halte ke warung susu jahe—kaki kami menyentuh genangan air di pinggir jalan, tapi langkah kami seirama. Langkah dua orang asing yang tak tahu bahwa suatu hari akan saling mengisi sunyi satu sama lain.

Lalu, aku menemukan sebuah kertas kecil, diselipkan di dalam lipatan kain payung:

"Payung ini mungkin jelek. Kusam. Tapi ini payung pertama kita berjalan berirama bersama.
Aku nggak tahu apa kamu masih ingat. Tapi aku ingat.
Dan aku ingin kamu bawa ini, bukan karena nilai gunanya, tapi karena… mungkin, payung ini pernah menyelamatkan kita dari hujan yang lebih dalam dari sekadar air langit."

Elio

Tanganku gemetar. Bukan karena udara. Tapi karena sebuah rasa yang tak bisa dijelaskan. Antara kehilangan dan syukur. Antara ingin memeluk dan tahu tak ada lagi yang bisa kupeluk.

Aku menatap surat terakhir itu.

Amplopnya polos. Tidak ada hiasan. Tidak ada tulisan selain satu baris kecil dengan tinta yang sedikit pudar:

"Untuk dibaca terakhir, buka Surat ini saat kamu sudah siap sepenuhnya atau… tidak sama sekali. Terserah kamu."

Tanganku gemetar. Tapi aku tidak menangis.

Belum.

Aku duduk diam di kamar, bersama tiga kotak kosong yang telah kubuka kemarin. Sepatu manis yang kupakai di bukit masih ada jejak tanahnya. Jaket dan selimut itu terlipat rapi di atas ranjang. Payung yang berdiri di sudut ruangan, seolah sedang menjaga semua kenangan yang mulai perlahan mengelupas dari waktu.

Namun, surat ini... surat terakhir ini...

Adalah pintu yang kutahu, begitu kubuka, aku tidak akan pernah bisa kembali.

Aku menggenggam surat itu. Lama. Tapi aku tidak membukanya.

Hatiku tahu, aku belum siap untuk kehilangan seutuhnya. Belum siap membaca kata-kata perpisahan yang Elio sengaja simpan untuk akhir. Karena jika kubuka sekarang, aku takut itu akan jadi titik. Padahal aku belum siap memberi titik.

Jadi aku simpan. Kupeluk surat itu seperti rahasia yang ingin kulindungi dari dunia.

Aku termenung seharian memikirkan surat itu, hingga akhirnya aku putuskan

Aku membawanya ke rumah Kayla.

Ia membukakan pintu dengan senyum kecil, tapi matanya segera membaca ekspresi wajahku.

"Aku tahu," katanya lirih, seperti telah menunggu momen ini. "Masuk, ya?"

Aku mengangguk.

Kami duduk di ruang tamu kecilnya. Tidak ada suara selain detik jam dinding dan suara nafas kami yang berat.

"Aku... belum membukanya," kataku pelan.

Kayla menatapku, lalu mengalihkan pandangan ke jendela.

"Kak Elio memang bilang... surat itu akan menyakitimu lebih dari semua yang lain."

"Aku juga diberi surat oleh kak Elio “Buka jika kamu sudah siap kehilangan semua tentangku.” dan aku memutuskan tidak akan membuka surat itu seumur hidupku"

Aku mengusap surat itu dengan ibu jari. Amplopnya sudah agak lecek sekarang. Aku belum berani membukanya—dan aku pun tak tahu apakah aku ingin membukanya.

"Aku cuma… pengen tahu cerita kalian," bisikku. "Cerita tentang dia… dan kamu."

Dan untuk beberapa saat, kami hanya duduk. Hening.

Lalu, Kayla mulai bercerita.


"Aku dan Kak Elio… bukan saudara kandung, kak Seliya," suaranya datar, tapi matanya mulai berkaca.

"Kami tumbuh di panti asuhan yang kecil. Dulu panti itu di pinggiran kota, hampir nggak pernah kedatangan donatur. Sejak kecil, kami terbiasa tidur berdua dalam satu selimut karena kasur cuma ada dua. Kak Elio… selalu nutupin tubuhku pakai selimut walaupun dia sendiri menggigil."

Aku menggenggam tanganku sendiri, merasakan napas terasa berat.

"Suatu hari… pengurus panti bilang kami harus pisah karena mereka kekurangan biaya. Tapi Kak Elio... dia kabur. Dia kabur dan balik lagi bawa satu plastik beras. Entah dari mana. Sejak itu… dia berubah. Dia dewasa lebih cepat. Jadi pelindungku. Jadi ayahku. Kakakku. Segalanya."

Air mata mulai turun dari mata Kayla. Tapi ia lanjut.

"Dia kerja apapun. Angkut pasir, bersihin warung, bersihin toilet di SPBU. Semua untukku. Tapi dia nggak pernah kelihatan capek. Nggak pernah ngeluh. Satu-satunya waktu aku lihat dia seperti anak-anak... ya saat dia cerita tentang kamu."

Aku menahan napas.

"Dia selalu bilang kamu punya mata yang seperti langit waktu fajar. Tenang, tapi dalamnya… bisa menenggelamkan siapa pun."


Aku tidak tahu kapan aku mulai menangis.

Tapi saat Kayla melanjutkan, aku sudah tak bisa membendung air mata.

"Dia tahu tubuhnya berubah. Dia tahu ada yang salah dari dulu. Tapi dia nggak pernah mau periksa sampai akhirnya udah parah. Kanker. Stadium lanjut."

Tangisku pecah.

Aku memeluk tubuhku sendiri, seolah mencoba menghangatkan diriku dari kenyataan yang menggigit terlalu dalam.

"Kenapa dia nggak bilang apa-apa?!" suaraku pecah. "Kenapa dia malah pergi diam-diam?!"

"Karena dia nggak mau kamu sedih."

Jawaban Kayla menghantamku seperti petir.

"Karena dia tahu kamu perempuan yang kuat. Tapi dia juga takut, kamu akan retak jika tahu dia sakit."

Aku terisak semakin keras. Ruangan itu menjadi ruang kesunyian yang meledak oleh suara tangisku.

"Dia nabung diam-diam… semua gajinya disisihkan buatku. Bukan buat berobat, tapi buat masa depanku. Buat bayar kuliah. Buat tempat tinggal. Bahkan… kado-kado itu. Dia rancang semuanya. Rapi. Terencana."

Kayla mengambil napas yang dalam, lalu berkata pelan:

“Karena... kamu satu-satunya perempuan yang bisa membuat dia merasa hidup, meski perlahan sedang mati.”


Hujan turun ketika aku keluar rumah Kayla. ditengah perjalanan menuju halte 

Dan saat itu, tubuhku ambruk.

Di bawah langit yang kelabu, aku menangis sejadi-jadinya.

Aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan rumah.

Aku menangis seperti seseorang yang telah menahan segalanya terlalu lama, dan akhirnya… semuanya jebol.

Aku berteriak memanggil namanya, meski tahu ia tak akan menjawab.

Aku menampar udara, menggenggam tanah, menggigit lengan bajuku agar tidak menjerit terlalu kencang di tengah hujan.

Elio.

Kenapa kau begitu kejam mencintaiku?

Kenapa kau pergi, setelah membuatku percaya bahwa aku bisa hidup lagi?

Hujan tak berhenti. Tapi tangisku lebih deras.

Di dalam dada, ada sesuatu yang patah. Retaknya tak akan pernah utuh lagi.

Dan di tengah hujan yang menggila, aku berbisik pada langit:

"Aku benci kamu karena membuatku kuat… saat aku hanya ingin lemah bersamamu."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama