Bab 15: Jejak yang Ditinggalkan Diam-Diam
Hari itu juga aku mengajukan cuti. untuk pergi ke tempat itu. Aku tahu, ini bukan tentang kotak itu. Ini tentang perjalanan menjemput sisa-sisa perasaan yang dulu aku kubur dalam-dalam. Dan mungkin, ini tentang memahami bahwa cinta Elio tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk ditemukan kembali.
Udara pagi masih mengandung embun ketika aku tiba di kaki bukit itu. Jalan setapak yang tak begitu lebar terbentang sunyi, hanya suara dedaunan yang disentuh angin dan kabut yang mulai terlihat seperti awan dari ketinggian ditemani langkah sepatuku yang pelan.
Bukit ini bukan tempat wisata. Tidak ada penunjuk arah, tidak ada orang. Tapi alamat yang tertulis dalam surat Elio sangat jelas. Lengkap. Dan khas. Seolah ia tahu aku akan mengikuti petunjuknya, bahkan setelah semua ini.
Aku membuka bagasi mobilku dan mengeluarkan satu kotak kecil berbalut kertas cokelat tua. Di atasnya tertempel tulisan sederhana:
"Kado Pertama. Bukalah di tempat ini. di tempat yang pernah kita sebut langit terdekat dengan bumi"
Tangan ini sempat gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena takut. Takut pada apa yang akan kurasakan setelah membukanya.
Perlahan kubuka kertas pembungkusnya. Di dalamnya ada sebuah kotak putih polos, dan ketika aku membuka penutupnya, hatiku seolah berhenti sejenak.
Sepasang sepatu.
Warna putih bersih dengan aksen pink, biru langit, dan lilac di sisi-sisinya. Kombinasi yang manis dan lembut, jauh dari warna-warna gelap yang biasa kupakai.
Dan di bawah sepatu itu, terselip sebuah surat yang ditulis tangan. Tinta hitam yang khas. Tulisan Elio yang rapi tapi sedikit miring ke kanan.
"Seliya, Kamu pernah bilang kalau kamu suka warna-warna netral, yang nggak mencolok, yang 'aman'. Tapi entah kenapa, setiap kali lihat kamu pakai warna gelap, rasanya aku ingin menyelipkan warna lain dalam harimu. Jadi, aku pilihkan sepatu ini. Putih untuk langkah barumu, pink untuk lembutnya hatimu, biru untuk langit yang selalu kamu pandang kalau kamu sedang lelah. Dan lilac... ya, itu cuma karena aku suka lilac. Nggak ada filosofi khusus. Tapi aku harap kamu suka. Oh, dan satu lagi: jangan lupa pakai kaos kaki ya, Seliya. Biar nggak lecet :)
– Elio"
Aku tertawa kecil. Tanganku menutup mulut saat tawa itu berubah menjadi isakan pelan. Aneh, rasanya seperti dia berdiri di sampingku dan mengatakannya langsung dengan senyum datarnya yang selalu berhasil menenangkan hatiku.
Aku duduk di sebuah batu besar yang menghadap ke lembah. Kubuka sepatuku yang lama dan kuganti dengan yang baru itu.
Langkah pertama terasa ringan. Entah karena sepatunya benar-benar nyaman, atau karena hatiku mulai memaafkan kenyataan.
Matahari mulai muncul dari balik bukit, menyentuh permukaan tanah dengan cahaya hangat keemasan.
Aku berdiri, menatap mentari yang dulu pernah kami impikan bersama, dalam diam.
"Aku pakai, Elio," bisikku. "Terima kasih karena masih memperhatikanku… bahkan dari jauh."
Dan untuk pertama kalinya sejak kepergiannya, aku merasa sedikit lebih hangat. Bukan karena matahari. Tapi karena kenangan yang tak lagi menyakitkan—melainkan menenangkan.
Aku tidak langsung pulang dari bukit itu. Hari masih pagi, tapi hatiku belum siap kembali pada dunia yang riuh. Jadi aku berjalan pelan-pelan, menyusuri jalan sepi tanpa tujuan. Membiarkan sepatu baruku merasakan tempat yang kita impikan dengan ritme pelan, seolah mengiringi detak hatiku yang pelan-pelan mulai bisa berdamai.
Sore harinya, aku membuka kotak kedua.
Kali ini aku duduk di ruang tengah, membiarkan jendela terbuka lebar, membiarkan cahaya oranye matahari sore membasuh ruangan dengan lembut. Kotaknya sedikit lebih besar dari yang pertama. Kertas pembungkusnya kusam, tapi masih terikat rapi dengan pita abu-abu. Ada label kecil di atasnya:
"Untuk musim hujan yang kamu bilang kamu benci."
Hatiku langsung mencelos. Aku tahu isinya bukan sekadar barang.
Kubuka perlahan.
Di dalamnya, terlipat rapi sebuah jaket berwarna biru tua dengan bagian dalam berbahan lembut. Jaket itu terlihat hangat. Dan di bawahnya—selimut bermotif garis-garis putih dan abu-abu, tebal dan empuk, masih terlipat seolah tangan Elio sendiri yang melipatnya.
Lalu, seperti sebelumnya, ada sebuah surat.
"Seliya, Kamu pernah bilang kamu benci musim hujan. Katamu, langit mendung bikin kamu makin merasa sendiri, makin dingin, makin berat.
Aku nggak bisa janji langitnya akan cerah terus. Tapi aku pengen kamu tahu... aku selalu ingin kamu merasa hangat.
Jaket ini untuk perjalanan pulangmu yang mungkin melewati hujan. Dan selimut itu, supaya kamu tetap merasa dipeluk... bahkan saat kamu sendirian di rumah.
Aku pernah bilang 'aku nggak akan selalu ada', tapi itu bukan berarti aku nggak pernah ingin ada.
– Elio"
Aku membekap wajahku dengan kedua tangan. Surat itu jatuh di pangkuanku, dan air mata mulai mengalir tanpa suara. Ada rasa hangat yang datang bersamaan dengan dingin yang mulai merayap ke kulit. Ironis, ya—aku merasa paling hangat, justru dari seseorang yang sudah tak bisa kupeluk lagi.
Aku memeluk selimut itu. Tak tahu harus bagaimana lagi menampung rindu yang semakin tak tertampung. Rindu pada seseorang yang tahu caranya menjagaku bahkan setelah pergi.
Sambil memeluknya erat, aku berkata pelan, "Aku nggak benci musim hujan lagi, Elio… sekarang nggak lagi."
Langit sore itu perlahan berubah gelap. Rintik hujan mulai turun dari langit. Tapi kali ini aku tidak menggigil. Tidak lagi menggertakkan gigi. Karena ada hangat yang tertinggal, ada rasa aman yang diam-diam masih disisipkan Elio dalam setiap hal kecil.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, hujan tak lagi menakutkan.
Komentar
Posting Komentar