Bab 14: Kabar dari Orang yang Kupikir Telah Hilang

Satu tahun berlalu begitu saja.

Dan seperti semua hal yang pernah terasa berat, akhirnya waktu membentuk ruang yang cukup untuk bernapas lebih lega. Aku masih mengingat semuanya, tentu saja. Tapi tidak lagi dengan sesak, tidak lagi dengan air mata.

Pagi ini aku menyeduh kopi dari dapur rumah kecilku, aroma robusta menguar pelan-pelan ke udara. Di luar, langit masih sama: kadang kelabu, kadang biru muda yang menenangkan. Aku kini bekerja di tempat baru. Bukan startup, bukan perusahaan multinasional. Tapi sebuah penerbitan besar yang hangat, tempat ide-ide tumbuh tanpa tekanan angka dan deadline yang mencekik. Aku suka di sini. Aku bisa bernapas.

Namaku terpampang di rak buku digital mereka, bukan sebagai penulis, tapi sebagai editor yang pelan-pelan mulai berani mengirimkan tulisannya sendiri. Dunia ini tidak sekompetitif dulu. Atau mungkin aku yang tidak lagi memaksakan diri untuk berlari terlalu cepat.

Terkadang, aku membuka kembali folder berjudul "Elio" di laptop lamaku. Ada foto-foto lama, beberapa voice note, dan potongan pesan singkat yang pernah kami tukar. Aku tidak menghapusnya. Tidak akan pernah. Karena kini, kenangan itu tidak lagi menyakitkan. Ia seperti taman yang pernah kutinggali—penuh bunga, meski ada duri. Tapi tetap hangat untuk dikenang.




Aku tidak pernah tahu bagaimana kabar Elio. Mungkin karena dia tahu, ada hal-hal yang lebih baik disimpan dalam diam. Tapi aku tahu satu hal: ia pernah hadir dalam hidupku, dan ia mengubah cara aku melihat dunia. Ia mengajari bahwa mencintai tak selalu berarti memiliki. Bahwa pergi tidak selalu tentang meninggalkan, tapi juga menjaga agar tak ada yang lebih terluka.

Dan hari ini, saat aku membuka laci kamar dan menemukan sebuah amplop dengan tulisan tangannya, aku tahu sesuatu akan berubah lagi.

Tidak ada nama pengirim. Hanya tulisannya yang khas, miring sedikit ke kiri, di sudut kanan atas amplop: "Untuk Seliya."

Tanganku gemetar. Aku membuka perlahan. Di dalamnya, selembar surat dan foto kecil—kami berdua, tersenyum di depan kedai kopi tempat biasa kami duduk diam-diam sepulang kerja.

Suatu malam, aku menulis ulang namaku di halaman pertama jurnal baruku: Seliya, bukan Zayka. Nama yang selalu Elio panggil saat kami berdua berbicara lebih dari sekadar pekerjaan.

Kini, aku siap mulai dari awal. Bukan karena melupakan, tapi karena mengizinkan diri untuk kembali menjalani hidup—dengan luka yang tidak kutolak, tapi juga tidak kubiarkan mengendalikan arah.

Dan di balik gerimis yang membasahi kaca jendela, aku berbisik lirih ke langit:

"Aku tidak akan menunggumu lagi, Elio. Tapi aku akan tetap mengenangmu dengan utuh. Karena cinta... tidak selalu butuh kehadiran untuk menjadi nyata."

Mataku mulai basah. Tapi bukan karena sedih. Karena sesuatu di dalam diriku akhirnya mengerti:

Aku sudah tidak sendiri.

Bukan karena Elio kembali, tapi karena aku akhirnya benar-benar bisa berdiri.


Suatu malam, aku berjalan sendirian ke toko buku di pusat kota.

Di sudut ruang fiksi, saat tanganku sedang meraih novel Murakami, aku mendengar seseorang memanggil pelan. Suara perempuan. Pelan, tapi familiar.

“Ka... Kak Seliya?”

Aku menoleh. Seorang gadis muda berdiri dengan wajah tak percaya. Rambutnya panjang, diikat rendah, dan matanya... mata itu tak asing.

“Kayla?” tanyaku ragu.

Ia mengangguk cepat, tersenyum gugup. “Akhirnya aku ketemu juga…”

Aku tak langsung bisa bicara. Dunia seperti berhenti sebentar.

Kayla—adik perempuan Elio.

Kami lalu duduk berdua di kafe kecil di seberang toko buku. Meja kami menghadap jendela, dan hujan mulai turun pelan. Lucu, semesta seolah tahu harus menurunkan hujan setiap kali nama Elio kembali disebut.

“Aku udah cari Kak Seliya dari lama,” katanya pelan. “Tapi Kak Elio nggak pernah kasih tahu nama lengkapmu. Aku cuma tahu panggilan ‘Seliya’ dan tempat kerja lamamu. Jadi aku cari-cari lewat sosial media, LinkedIn, bahkan nanya ke HRD.”

Aku tertawa kecil, nyaris tak percaya. “Aku bahkan pikir kamu nggak ingat aku…”

“Justru aku disuruh nyari,” katanya, lalu menatapku dalam. “Karena ada titipan.”

Aku membeku. Jantungku seperti berhenti berdetak sesaat.

“Titipan?”

Kayla mengangguk pelan, lalu pergi mengambil sesuatu dari mobilnya yang terparkir tidak jauh dari cafe. Ia mengeluarkan sebuah kotak kado cukup besar, lalu menyerahkannya padaku dengan hati-hati, seolah benda itu bisa pecah jika disentuh sembarangan.

“Ada tiga kado dan dua surat. Kak Elio yang siapkan semua. Dia bilang, kalau suatu saat aku bisa ketemu Seliya, serahkan ini. Kalau belum siap, tunggu sampai kamu siap.”

Aku menggenggam kado itu erat-erat. Rasanya seperti memeluk kenangan yang selama ini kupendam dalam-dalam. Dalam hati, aku hanya mampu berkata:

Kenapa kamu selalu tahu caranya menyentuh hatiku, bahkan setelah kamu pergi?


Kayla menatapku sambil tersenyum. “Aku cuma menjalankan amanat. Aku belum pernah buka kotaknya, belum pernah baca suratnya. Tapi aku yakin, isinya... penting. Kak Elio menyiapkannya sejak lama.”

Aku mengangguk, masih belum bisa berkata apa-apa. Hujan di luar mulai reda. Tapi dadaku tetap berat.

Kami lalu berpisah di depan kafe, setelah bertukar nomor.

“Nanti aku baca,” kataku pelan. “Saat aku sendirian.”

Kayla mengangguk mengerti.

Sebelum kami berpisah, kami saling bertukar alamat tinggal dan dia sempat berkata, “Dia benar-benar menyiapkan semuanya. Dengan hati-hati. Bahkan saat sakitnya. Aku pernah melihatnya membungkus sesuatu sambil batuk berat. Kukira itu lelucon… tapi ternyata ini semua nyata.”

Aku hanya bisa tersenyum pahit.

Setelah Kayla pergi, aku pulang membawa kotak dan dua surat itu ke kamar. Aku meletakkannya di meja, menyalakan lampu kuning temaram, dan duduk di kursi kecil yang biasa kugunakan untuk menulis jurnal.

Satu per satu, kuperhatikan isi kotak yang terbagi menjadi tiga bagian kecil di dalamnya. Masing-masing terbungkus kertas kado bergambar langit senja. Ada tulisan angka 1, 2, dan 3 di setiap kado.

Namun sebelum semua itu, aku mengambil surat pertama dan membuka amplopnya dengan perlahan. Aroma kertas tua dan sabun yang khas langsung menyapa.


Seliya,

Kalau kamu membaca ini, berarti aku sudah tidak bisa menunggumu membuka kado ini bersamaku. Tapi jangan khawatir, aku menunggumu di tempat lain—dalam segala hal yang masih indah untukmu.

Aku tahu kamu kuat. Tapi kamu tidak harus terus jadi kuat sendirian. Karena bahkan kekuatan pun berhak istirahat. Dan saat kamu lelah, bukalah satu per satu dari tiga kado ini. Jangan terburu-buru. Nikmati tiap momennya. Anggap ini seperti pelukan yang tertinggal.

Kado pertama, tolong buka di tempat yang pernah kita sebut langit terdekat dengan bumi.

Kalau kamu sampai di sana, dan kamu tersenyum… berarti aku berhasil.

Jaga dirimu baik-baik, Seliya. Untukku. Untukmu.

— Elio


Air mata akhirnya jatuh. Satu tetes. Dua. Kemudian deras seperti hujan yang tak tertahan.

Kupeluk surat itu ke dada. Rasanya seperti dipeluk kembali oleh seseorang yang tak lagi bisa kupeluk.

Aku menatap tiga kado di atas meja. Tanganku gemetar. Tapi kali ini, bukan karena takut.

Tapi karena rindu.

Dan karena hatiku tahu—ini bukan perpisahan. Ini adalah cinta, yang bertahan melampaui waktu.


"Jika kau masih bisa membuat seseorang tersenyum meski kau telah pergi, berarti kau tak pernah benar-benar hilang."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama