Bab 13: Jeda yang Tertahan
Tiga minggu sejak surat resignku diterima, aku masih harus menyelesaikan masa transisi. HRD meminta waktu tiga minggu untuk mencari pengganti, dan aku menyanggupi.
Awalnya kupikir tiga minggu adalah waktu yang cukup untuk menyelesaikan semuanya dengan baik. Tapi ternyata, dua minggu ini berubah jadi ujian mental yang lebih berat dari sebelumnya.
Timku mulai berantakan. Deadline sering molor, komunikasi jadi lebih kaku, dan rapat-rapat penuh tekanan. Manager kami, Bu Tina, yang biasanya santai, kini lebih sering berbicara dengan nada tinggi. Banyak hal yang tak seharusnya menjadi tanggung jawabku, justru dibebankan begitu saja. Aku menjadi tempat tumpuan masalah.
Suatu sore, setelah rapat yang tegang dan melelahkan, aku duduk lama di toilet kantor. Bukan untuk menangis, bukan juga karena sakit perut. Hanya butuh diam. Butuh tempat di mana aku tidak harus menjawab pertanyaan siapa pun.
Dalam keheningan itu, aku mendengar suara batinku sendiri. Suara yang selama ini tenggelam oleh hiruk-pikuk pekerjaan, deadline, dan kehilangan.
"Zayka, apa kamu masih bahagia di sini?"
Aku tidak bisa menjawab. Karena jika jujur, jawabannya adalah tidak.
Aku tidak bahagia.
Bahkan untuk tersenyum pun aku harus berpura-pura. Menyembunyikan letih, menyembunyikan kosong.
Aku mencoba mengalihkan perasaan dengan bekerja lebih keras. Tapi kerja keras itu justru membunuh sisi lembut dalam diriku. Sisi yang dulu bisa tertawa karena hal kecil. Sisi yang bisa bersyukur hanya karena diberi susu jahe hangat saat hujan. Sisi yang dulu... Elio rawat perlahan.
Tanpa Elio, tidak ada yang mengingatkanku untuk istirahat. Tidak ada yang bertanya apakah aku sudah makan. Tidak ada suara yang berkata, "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Seliya."
Elio pernah bilang, “Kerja bagus itu penting, tapi kamu lebih penting.”
Dan kini, semua seolah membuktikan: aku memang hanya alat. Ketika lelah, tidak ada yang peduli. Ketika sakit, tidak ada yang tahu. Ketika aku diam—tidak ada yang benar-benar mendengar.
Suatu malam, saat semua sudah pulang, aku masih duduk di meja. Layar laptop menyala, tapi pekerjaanku belum juga selesai. Aku menatap dokumen Excel yang angka-angkanya menari tanpa arti.
Aku ingin menutup laptop, tapi rasanya seperti menyerah.
Aku ingin pergi, tapi rasanya seperti gagal.
Tapi… kenapa aku harus merasa gagal hanya karena berhenti?
Elio tidak pernah menyebut resign sebagai kekalahan. Ia menyebutnya sebagai “keputusan yang perlu keberanian.”
Aku menggenggam mouse dengan tangan yang gemetar.
Dan untuk pertama kalinya, aku menutup laptop sebelum semua selesai. Aku berdiri. Mengambil tas. Dan keluar dari kantor dengan langkah yang pelan, tapi pasti.
Malam itu aku tidak menangis.
Aku hanya merasa... lelah sekali. Seperti berjalan terlalu lama membawa beban yang bukan milikku.
Esoknya, aku kembali ke kantor dengan senyum tipis. Aku tahu apa yang akan kulakukan hari ini.
Sebelum jam istirahat, aku mendatangi HRD dan mengatakan bahwa aku ingin mempercepat pengunduran diriku. Bukan tiga minggu lagi. Tapi hari Jumat ini.
"Kenapa mendadak, Kak Zayka?" tanya salah satu staf HR dengan ekspresi terkejut.
Aku tersenyum, lembut. “Karena aku butuh ruang untuk tumbuh. Dan kantor ini sudah tak lagi memberi ruang itu.”
Mereka tidak bisa menolak.
Hari itu juga aku mulai beres-beres meja. Menyortir barang-barang yang tersisa. Beberapa sticky note dari Elio masih terselip di laci. Salah satunya tertulis:
“Kalau kamu tersenyum karena aku, maka aku ingin jadi alasan itu selamanya.”
Kata-kata itu seperti mantra yang menenangkan.
Aku menyelipkannya ke dalam dompet. Sebab aku tahu, aku akan membutuhkannya di tempat baru nanti. Sebagai pengingat, bahwa pernah ada seseorang yang memperhatikanku bukan karena hasil kerjaku, tapi karena aku... adalah aku.
Hari Jumat tiba lebih cepat dari yang kubayangkan.
Sore itu, sebelum pulang, aku memandangi seluruh ruangan kantor. Meja-meja yang kini terlihat biasa saja. Komputer-komputer yang hanya memantulkan cahaya tanpa makna.
Aku mengingat saat pertama kali masuk ke sini. Waktu itu aku gugup, canggung, dan takut salah. Tapi hari itu juga aku bertemu Elio—dan sejak saat itu, semuanya terasa mungkin.
Sekarang, ketika aku melangkah keluar dari pintu itu untuk terakhir kalinya, aku membawa rasa baru: bukan ketakutan, bukan kehilangan, tapi keyakinan.
Keyakinan bahwa aku boleh lelah. Bahwa aku boleh pergi. Bahwa aku berhak memilih tempat di mana aku bisa tumbuh—tanpa luka yang terus kupendam.
Aku menutup pintu kantor perlahan.
Dan dalam hati, aku berbisik:
"Terima kasih, Elio Karena pernah menjadikan tempat ini terasa seperti rumah. Tapi kini, aku harus membangun rumahku sendiri."
Komentar
Posting Komentar