Bab 12: Kepergian Tanpa Aba-Aba
Tiga minggu telah berlalu sejak hari itu.
Hari ketika Kayla datang membawa kabar tentang kondisi Elio. Hari ketika meja Elio tak lagi punya penghuninya. Hari ketika kantor terasa lebih dingin, lebih asing, meski AC masih menyala dengan suhu yang sama.
Setiap pagi, aku masih menengok ke arah mejanya. Entah kenapa. Barangkali karena berharap. Barangkali karena belum bisa menerima. Aku belum pernah benar-benar kehilangan seseorang sebelumnya. Tapi kali ini... aku merasa seperti ditinggalkan oleh sesuatu yang tidak bisa kusebut dengan tepat. Persahabatan? Kebersamaan? Atau harapan?
Sampai hari itu datang.
Pagi itu suasana kantor tidak seperti biasanya. Ada suara tawa yang lembut, dan aroma kopi yang terasa lebih hangat dari biasanya. Aku baru saja keluar dari ruang rapat ketika kulihat beberapa rekan kerja mengerumuni seseorang di dekat pantry.
Elio.
Ia berdiri di sana, mengenakan kemeja putih bersih dan jaket biru langit yang dulu sering ia pakai saat cuaca mendung. Senyumnya hangat, tawa renyahnya terdengar jelas. Tangannya menyalami satu per satu orang yang menghampirinya. Sesekali ia bercanda, menyisipkan humor kecil yang membuat semua orang tertawa.
Seakan tidak ada yang berubah.
Padahal... hari itu adalah hari terakhirnya.
Aku ingin mendekat, ingin menanyainya kenapa baru muncul sekarang, ingin sekadar menyapanya, tapi aku terpaku di tempat. Langkahku berhenti di depan ruang rapat, dan saat aku hendak keluar, seseorang dari tim manajemen masuk dan menahanku.
"Zayka, rapatnya belum selesai. Kita butuh pendapat kamu soal laporan kuartal kemarin."
Aku mengangguk lemah dan kembali duduk.
Dari kaca bening ruang rapat, aku bisa melihat Elio masih tersenyum. Tertawa. Mengucap terima kasih kepada semua yang memberinya ucapan selamat jalan. Ia bahkan sempat memberikan sekotak brownies buatan sendiri untuk tim IT, katanya sebagai ucapan terima kasih karena pernah membantu memperbaiki laptopnya.
Dan kemudian, ia melangkah menuju lift.
Aku menahan napas. Dalam diam, aku berharap matanya akan menoleh. Mencariku. Sekadar mengangguk, tersenyum, atau memberi isyarat bahwa ia tahu aku ada di sana. Tapi tidak. Ia hanya menatap ke depan.
Ketika pintu lift tertutup, aku merasa seperti seseorang telah menutup bab penting dalam hidupku, dan aku tidak sempat membacanya sampai akhir.
Setengah jam kemudian, HRD mengumumkan secara resmi bahwa Elio telah mengajukan surat pengunduran diri. Tanpa pesan. Tanpa pamit. Tanpa aba-aba padaku.
Hatiku nyaris berhenti. Aku membaca ulang email internal itu, berharap mungkin aku salah baca. Tapi tidak. Itu jelas. Nama Elio. Surat resign. Berlaku efektif mulai hari ini.
Aku pergi ke pantry. Butuh udara. Tapi tak ada jendela di sana. Aku membuka lemari, mengambil satu gelas kosong, dan mengisinya dengan air mineral yang hambar. Rasanya tidak menghapus getir di tenggorokanku.
Beberapa rekan kerja membicarakannya. "Sayang banget Elio resign," kata mereka. "Orangnya baik, rajin, dan tenang banget."
Aku mendengar semua itu seperti gema. Jauh. Tak menyentuh. Karena aku satu-satunya yang tidak tahu—dan aku yang merasa paling dekat dengannya.
Aku menatap meja kerjaku. Meja yang dulu sering Elio tatap dari seberang. Meja yang kadang diberi sticky note bertuliskan: "Kamu bisa." atau "Minum air putih, ya."
Aku masih menyimpan satu sticky note itu di dompetku.
Sore harinya, aku memberanikan diri menghubungi Kayla. Kupikir, dia mungkin tahu alasannya.
"Halo, Kayla?"
"Halo, Kak Zayka."
"Maaf mengganggu... aku cuma mau tanya. Elio... kenapa dia resign?"
Kayla terdiam. Beberapa detik terlalu lama.
"Maaf... aku nggak tahu harus jawab gimana. Kak Elio bilang, dia nggak ingin Kak Zayka tahu."
"Kenapa?"
"Karena Kakak itu penting buat dia. Dia takut Kakak marah. Atau sedih. Atau... nggak bisa melanjutkan kerja dengan tenang."
Aku menggigit bibir bawahku. Air mata menekan dari balik pelupuk mata.
"Kayla, dia bahkan nggak pamit... ke aku."
"Dia nggak kuat pamit. Katanya, kalau lihat Kak Zayka sedih, dia nggak akan bisa pergi."
Kata-kata itu menghantam seperti badai. Membuatku ingin runtuh.
"Dia sehat sekarang?"
"Sudah membaik. Kak Elio nggak pernah bilang detail, tapi... dia tahu tubuhnya udah nggak sekuat dulu."
Setelah percakapan itu berakhir, aku duduk lama di halte depan kantor. Menatap mobil dan motor lalu-lalang, tidak benar-benar melihat.
Beberapa minggu berikutnya, aku mencoba bertahan. Tapi semuanya terasa tidak sama. Pekerjaan menumpuk, dan tidak ada Elio yang biasanya membantu membereskan file Excel yang membingungkan. Tidak ada Elio yang menyarankan aku makan siang di jam normal. Tidak ada Elio yang berdiri di depan meja, menyodorkan minuman hangat atau permen mint dengan alasan: "Biar pikiran adem."
Aku mulai sering pulang larut. Tapi bukan karena lembur. Karena aku tidak mau kembali ke kamar yang sepi dengan pikiran yang gaduh.
Sampai satu malam, aku jatuh sakit.
Demam, batuk, dan migrain menyerang bersamaan. Di atas ranjang kos, aku merindukan seseorang yang bahkan tidak tahu aku sedang menggigil.
Dan di puncak rasa lelah itu, aku menangis.
Bukan karena tubuhku lemah. Tapi karena kehilangan seseorang yang tidak pernah benar-benar kumiliki, namun kehadirannya berarti seperti rumah.
Aku mulai mempertimbangkan resign. Tapi aku ragu. Aku masih ingin kuat. Aku masih ingin bertahan. Tapi tiap hari, kantor ini seperti mengingatkanku pada seseorang yang tak akan kembali.
Minggu-minggu itu aku mencoba menguatkan diri. Mengingat ulang alasan kenapa aku kerja di sini. Apa cita-citaku. Apa tujuanku.
Namun semua jawabannya berujung sama: semuanya dulu terasa mungkin karena ada Elio.
Dan sekarang, rasanya aku sedang berusaha mendaki tebing yang terlalu curam, sendirian.
Sampai akhirnya, pada malam keempat setelah overtime sendirian, aku menyadari sesuatu.
Aku harus jujur pada diriku sendiri.
Bukan kantor ini yang membuatku berkembang. Tapi orang-orang di dalamnya. Dan orang itu... sudah tidak ada di sini.
Malam itu aku mengetik surat resign. Dengan tangan gemetar, tapi hati yang tenang. Untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu, aku merasa tahu apa yang harus kulakukan.
Bukan untuk lari. Tapi untuk kembali menemukan diriku yang dulu, yang kuat bukan karena seseorang, tapi karena tahu kapan harus berhenti.
Besoknya, aku menyerahkan surat itu ke HRD. Mereka terkejut, beberapa mencoba menahan. Tapi aku hanya tersenyum, dan berkata, "Saya sudah memikirkan ini lama."
Dan ketika aku kembali ke meja kerjaku, aku membuka sticky note terakhir dari Elio yang tersisa di laci. Tulisannya mulai pudar:
"Semua orang berhak bahagia. Termasuk kamu."
Hari itu, aku mengemasi barang-barangku. Dan untuk pertama kalinya, aku berjalan keluar dari gedung itu dengan langkah ringan.
Entah kemana aku akan melangkah. Tapi aku tahu, ini bukan akhir. Ini... permulaan untuk sesuatu yang baru.
Tanpa Elio.
Tapi dengan diriku sendiri yang lebih jujur.
Dan mungkin, kelak... aku akan kembali bertemu Elio. Entah di mana. Entah dalam keadaan seperti apa.
Tapi setidaknya, saat itu tiba, aku ingin bisa berkata:
"Aku tidak marah lagi. Aku sudah belajar... untuk baik-baik saja. Tanpamu."
Saat itu tiba, aku ingin bisa tersenyum dan berkata:
"Aku baik-baik saja. Bukan karena kamu kembali. Tapi karena aku akhirnya belajar... berdamai dengan kehilangan."
Komentar
Posting Komentar