Bab 11: Hujan yang Menepi
Hari itu, hujan turun sejak pagi. Bukan hujan deras yang memaksa orang berlarian mencari teduh, tapi hujan gerimis yang pelan-pelan mengendap di bahu, menyusup ke dalam hati. Aku menatap kaca jendela dari balik meja kerjaku. Tetes air turun perlahan di permukaannya, meninggalkan jejak seperti kenangan yang enggan hilang.
Elio tidak masuk hari ini. Tidak ada kabar. Tidak ada pesan. Tidak ada suara langkah yang biasanya datang lebih pagi dariku, menyapa dengan senyum ringan dan ucapan sederhana, “Pagi, Seliya.”
Aku mencoba menenangkan diriku, mencoba berprasangka baik. Mungkin dia hanya bangun kesiangan. Atau mungkin sedang ada urusan keluarga. Tapi dari semalam, chat-ku hanya dibaca tanpa balasan. Dan itu cukup membuat pikiranku berkelana ke berbagai kemungkinan yang tak menyenangkan.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh ketika sebuah ketukan pelan terdengar di pintu ruangan kami. Aku membuka pintu dan melihat seorang perempuan muda berdiri di sana. Rambutnya sebahu, wajahnya sedikit mirip Elio, hanya saja lebih lembut, lebih muda. Dia mengenakan jaket parasut biru tua yang tampak basah di beberapa bagian.
“Permisi, saya mencari Kak Elio,” katanya dengan suara pelan.
Aku menatapnya beberapa detik sebelum menjawab, “Elio nggak masuk hari ini. Kamu siapa, ya?”
“Saya Kayla, adiknya.”
Hati kecilku terlonjak.
“Oh, iya. Silakan masuk.”
Dia duduk di kursi dekat meja resepsionis sementara aku mengambilkan tisu dan air mineral.
“Maaf, Elio nggak bilang apa-apa soal kamu mau datang.”
Kayla menggeleng. “Memang nggak direncanakan. Aku disuruh ambil barang-barang pentingnya. Dia sakit.”
Napas panjang keluar dari tubuhku, perlahan, seperti angin yang akhirnya menemukan celah untuk lolos dari jendela tertutup. Sakit. Itu sebabnya dia tidak masuk. Tapi kenapa tidak bilang apa-apa?
“Serius sakitnya?” tanyaku pelan.
Kayla terdiam sejenak. “Lumayan. Udah sering kambuh akhir-akhir ini. Tapi Kak Elio selalu bilang ke semua orang kalau dia baik-baik aja.”
Aku menggenggam ujung bajuku sendiri, mencoba menyembunyikan gemetar yang datang tiba-tiba. “Dia... di rumah sakit?”
“Sekarang udah di rumah. Tapi belum kuat banyak gerak.”
Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi aku menahan diri. Kayla terlihat lelah. Aku bisa melihat dari lingkar matanya dan dari caranya duduk yang sedikit membungkuk ke depan, seolah menanggung beban yang bukan miliknya sendiri.
Dia lalu berdiri dan berkata, “Aku mau ke meja kerjanya. Ada file di flashdisk dan beberapa dokumen yang dia minta.”
Aku hanya mengangguk. Mengantar dia ke tempat Elio biasa duduk. Meja itu... terlalu rapi untuk seseorang yang terakhir terlihat di sana hanya dua hari lalu. Seolah kepergiannya telah direncanakan jauh-jauh hari.
Kayla mengambil sebuah map, laptop kerja, dan satu buah flashdisk dari dalam laci. Ia menatap kursi itu sebentar, lalu berkata pelan, “Dia suka kerja di sini. Katanya, kantor ini satu-satunya tempat yang bikin dia bisa lupa sama sakitnya.”
Aku menelan ludah, perih.
Kayla sempat terdiam sebentar, lalu duduk kembali dan memandangku. “Kak Elio sering cerita tentang Kak Seliya.”
Aku mengerjapkan mata. “Cerita apa?”
“Katanya... Kak Seliya orang paling keras kepala tapi juga paling tulus yang pernah dia temui,” ucapnya, lalu tersenyum kecil. “Kak Elio itu... kuat banget. Bahkan pas sakit parah pun, dia masih mikirin deadline kerjaan, mikirin gimana caranya bikin Kak Seliya nggak khawatir. Dia bilang, ‘Kalau aku kelihatan lemah, seliya pasti makin banyak mikir."
Dadaku terasa penuh. Seolah setiap kata yang Kayla ucapkan adalah hujan yang turun di dalam diriku sendiri.
“Dia nggak pernah bilang ke aku,” kataku lirih.
“Karena dia tahu Kakak nggak suka dikasih beban. Jadi dia milih simpan sendiri.”
Aku mengangguk pelan. Aku tahu itu benar. Dan justru itulah yang paling menyakitkan.
Setelah dia pergi, aku kembali ke meja kerjaku. Duduk lama tanpa membuka laptop. Beberapa rekan kerja bertanya kenapa aku melamun, tapi aku hanya menggeleng dan tersenyum. Aku tidak bisa menjelaskan apa-apa, karena aku sendiri tidak tahu apa yang sedang kurasakan. Kaget? Sedih? Marah? Atau takut?
Elio yang kukenal bukan seseorang yang mudah mengeluh. Bahkan saat semua orang kalang kabut menghadapi tekanan kerja, dia tetap menjadi sosok paling tenang. Menawarkan air hangat, memberi sticky note dengan tulisan lucu, atau sekadar mengangguk pelan yang artinya: 'aku di sini kalau kamu butuh'.
Aku membuka chat terakhir kami. Pesan terakhirku belum dibalas. Pesan yang sederhana: “Hati-hati di jalan.”
Dan sekarang, aku yang harus hati-hati pada hatiku sendiri.
Beberapa hari berlalu, dan Elio masih belum kembali. Tidak ada kabar dari Kayla. Tidak ada chat yang masuk. Kantor mulai terasa aneh. Seperti kehilangan iramanya.
Orang-orang mulai bertanya-tanya. “Elio kemana?” “Ada yang tahu kabarnya?” Tapi tak ada yang benar-benar tahu. Dan aku mulai menghindari semua pertanyaan itu.
Karena setiap kali nama itu disebut, ada sesuatu di dadaku yang bergetar.
Sore itu, saat aku hendak pulang, aku melihat tempat duduk Elio dari kejauhan. Meja itu masih kosong, tapi entah kenapa terasa begitu penuh. Penuh dengan kenangan, suara, dan diam yang dulu begitu bermakna.
Aku mendekat, entah kenapa. Duduk di kursi kerjanya sebentar. Dari tempat ini, aku bisa melihat mejaku sendiri. Tempat aku dulu duduk dan pura-pura sibuk padahal diam-diam memperhatikannya.
Di lacinya, masih ada satu bungkus teh jahe yang belum diminum. Aku tersenyum kecil. Mungkin memang hanya aku yang tahu kalau dia suka menyeduhnya pakai air dingin agar lebih pelan diminumnya.
Aku menaruh bungkus teh itu ke tasku. Entah untuk apa. Mungkin hanya agar aku merasa dia tidak sepenuhnya pergi.
Malamnya, aku berdiri di balkon kos. Hujan masih turun, masih dengan irama yang sama. Langit tak benar-benar gelap, tapi juga tak punya cahaya. Seperti hati seseorang yang menunggu sesuatu tanpa tahu apa.
Aku membuka buku catatan kecil yang biasa kubawa ke mana-mana. Menulis satu kalimat:
“Semakin banyak yang tak terucap, semakin dalam yang tertanam.”
Dan malam itu, aku menangis. Bukan karena kehilangan, tapi karena belum siap menerima kenyataan kalau kehilangan itu... mungkin sedang mengintip dari balik pintu.
Elio... cepat sembuh, ya. Setidaknya, beri tahu aku kalau kamu baik-baik saja.
Aku tidak butuh janji. Aku hanya ingin tahu kamu masih di dunia yang sama denganku.
Karena rasanya... hari-hari tanpamu, mulai terasa terlalu sunyi.
Komentar
Posting Komentar