Bab 3 – Ombak yang Membawa Bayangan

Semenjak kepulangan Ilham, hidup di rumah kayu itu terasa lebih hangat. Tapi laut… laut seolah menyimpan gelisah.

Sudah tiga malam berturut-turut, Rana terbangun karena mimpi buruk. Mimpi yang selalu sama: ia berdiri di dermaga, memanggil Ilham, tapi yang muncul dari kabut adalah seseorang lain. Seseorang dengan mata tajam dan luka panjang di pipinya. Lalu… denting. Denting yang membelah udara, keras dan melengking. Membuatnya terbangun dengan keringat dingin di tengkuk.

“Ini hanya sisa-sisa trauma,” gumamnya saat mencuci muka, menatap pantulan matanya yang mulai kelelahan.

Namun gelisah itu tak berhenti di mimpi. Di desa mulai beredar bisik-bisik. Bahwa seseorang asing datang, mengaku mengenal Ilham. Seorang nelayan tua melihatnya duduk di warung kopi dekat pelabuhan, membawa potret kusam dan bertanya, “Apakah kalian mengenal lelaki ini?”

Ilham, saat ditanya, hanya menjawab, “Mungkin salah orang. Aku tidak ingat siapa pun seperti itu.”

Tapi Rana tahu. Ada sesuatu yang ditutupi. Tatapan Ilham tak seteduh biasanya. Seperti ombak yang tampak tenang tapi menyembunyikan pusaran di bawahnya.

Sore itu, saat Rana sedang menyapu halaman, selembar surat terselip di bawah pintu. Kertas tua, dilipat empat. Tulisannya gemetar, ditulis dengan tangan kiri:

“Kau pikir lautan bisa mengubur segalanya? Bahkan pengkhianatan?
Waktu terus berdenting, dan aku akan datang untuk menagihnya.”
D.

Rana mematung. Surat itu tidak ditandatangani nama lengkap. Hanya “D”.

Seketika, suara denting dari lonceng kecil itu kembali terdengar—sekali saja. Tapi kali ini, rasanya berbeda.

Denting itu… bukan awal.
Denting itu… peringatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama