Bab 7 – Sebuah Jejak yang Baru
Rana berjalan menuju pelabuhan, kaki ringan meski hatinya terikat pada keresahan yang mulai menyusup. Udara pagi itu terasa segar, lebih bersih daripada rutinitas yang kini terasa menyesakkan. Ia ingin bernafas lebih dalam, melupakan bayangan Ilham dan segala yang menyertainya.
Saat tiba di pelabuhan, terdengar suara lonceng dari jauh, denting kecil yang selalu membuatnya teringat rumah—rumah yang kini terasa lebih asing daripada yang ia harapkan.
Di depan warung kopi, seorang lelaki muda berdiri, memperbaiki jala yang tergulung di atas bahunya. Rambutnya hitam legam, wajahnya tampak baru bangun tidur—penuh kehidupan dan kehangatan yang langka, jauh dari bayang-bayang kegelapan yang ada dalam hidupnya.
Lelaki itu melihat Rana dan tersenyum, senyuman yang tidak terbebani oleh rahasia apapun. Senyuman yang membuatnya sejenak lupa bahwa ia membawa beban pertanyaan tentang dirinya sendiri.
“Pagi, Nona. Sudah lama menunggu?” tanya lelaki itu dengan suara yang lembut, tidak terburu-buru.
Rana terkejut, lalu tersenyum tipis. Ada yang berbeda dalam caranya berbicara, seolah dunia ini bisa lebih ringan dari yang pernah ia kenal.
“Aku Lio,” katanya, menawarkan tangan untuk berjabat. “Biasa membantu di sini. Kalau ada yang perlu, jangan ragu.”
“Rana,” jawabnya, sedikit ragu tapi menerima jabat tangan itu. “Terima kasih.”
Lio tersenyum lebih lebar. Ada ketulusan di balik mata cokelatnya yang cerah, kehangatan yang sangat jarang ia rasakan belakangan ini. “Bolehkah aku ajak kau duduk? Rasanya tak enak kalau seorang wanita harus berdiri lama sendirian di sini.”
Rana ragu sejenak. Tapi akhirnya, ia mengikuti langkah Lio menuju meja di dekat jendela warung kopi yang menghadap laut. Tak ada perasaan takut atau cemas—hanya kenyamanan yang tiba-tiba muncul, sesuatu yang sudah lama hilang dalam hidupnya.
Obrolan mereka mengalir begitu alami—tentang laut, kehidupan sederhana yang penuh harapan, dan mimpi yang sepertinya tidak dibatasi oleh waktu. Semua terasa ringan, tanpa beban, dan jauh dari kebohongan-kebohongan yang selama ini menyelubungi dunia mereka.
Namun saat itu juga, terdengar denting dari arah pelabuhan, lebih keras dan lebih jelas. Denting itu—terasa seperti peringatan. Seperti hal-hal yang tidak bisa ditinggalkan, bahkan saat mereka berusaha untuk berpaling. Denting itu kembali, bukan sebagai pertanda yang menenangkan, tetapi seperti gema dari sesuatu yang belum selesai.
“Ilham tak menemanimu?” tanya Lio dengan nada ingin tahu, memecah kesunyian sejenak.
Rana menunduk, merasa berat menjawab. “Ilham? Tidak hari ini.”
Ada sebuah ketegangan yang mengalir di udara. Denting itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, lebih jelas. Seolah mengingatkannya bahwa meskipun ia sedang bersama Lio, ada sesuatu yang masih membelenggu hatinya—sesuatu yang tidak bisa mudah ia lepaskan.
“Lio,” kata Rana pelan, “terima kasih. Terkadang, hanya berbicara dengan seseorang yang tidak tahu semuanya… membuatku merasa lebih ringan.”
Lio tersenyum dengan tulus. “Aku selalu di sini, kapan pun kau butuh teman bicara.”
Rana merasa ada kehangatan dalam kata-kata itu—tanpa ketakutan, tanpa agenda tersembunyi. Tidak seperti denting yang terus mengganggu setiap langkah yang diambilnya bersama Ilham.
Denting. Lagi. Lebih keras, seperti gelombang yang datang begitu saja.
Tapi kali ini, Rana hanya menunduk. Apakah itu pertanda bahwa ia harus memilih, ataukah hanya suara yang mengingatkannya bahwa tak ada yang bisa lari dari masa lalu?
Komentar
Posting Komentar