Bab 6 – Wajah Lain dari Laut

Ilham tidak membantah tuduhan Damar.

Sebaliknya, ia tertawa pelan—tawa pahit yang terdengar asing bagi Rana.
“Kau pikir aku ingin semua ini? ini semua salah mereka karena tidak sadar akan semua ini” katanya, menatap Rana tanpa air mata. “Aku hanya bertahan dan berusaha melindungimu dari Dunia ini.”

Damar mencoba mendekat, tapi Ilham menyuruhnya menjauh dengan kasar.
“Jangan pura-pura jadi penyelamat. Kau juga ada di kapal itu. Kau juga terlibat.”

“Karena kau yang bawa kami ke sana!” bentak Damar.

Rana menyaksikan pertengkaran itu seperti menonton dua gelombang saling bertabrakan. Suami yang ia tunggu bertahun-tahun kini berdiri sebagai lelaki penuh kemarahan dan kebohongan. Ia mengusir Damar malam itu, tapi bukan demi Ilham—melainkan karena butuh waktu sendiri.

Namun malam berikutnya, Rana menemukan sesuatu yang tak ia duga: seikat uang di bawah papan lantai kamar, dan sebuah peta jalur laut bertanda merah, menuju pelabuhan asing.

Ilham belum selesai dengan semuanya. Ia berencana pergi… lagi.
Tanpa bilang. Tanpa menjelaskan.

Dan kepercayaannya—retak sepenuhnya.

Besok pagi , Rana menemukan roti panggang di atas meja. Di sebelahnya secangkir kopi—hitam, tanpa gula, persis seperti yang ia suka. Tapi Ilham tak ada. Ia sudah pergi sejak fajar, tanpa sepatah kata.

Rana duduk. Ia menatap roti itu lama.

Ada cinta di sana. Tapi kenapa bentuknya selalu seperti bayangan? Seperti sesuatu yang tak bisa disentuh tanpa terluka?

Sejak pertemuannya dengan Damar, Rana menyimpan pertanyaan yang tak kunjung usai. Tentang Ilham. Tentang siapa sebenarnya lelaki itu sekarang. Apakah lelaki yang ia tunggu bertahun-tahun sudah mati di laut, dan yang pulang hanya cangkangnya saja?

Malam harinya, Rana memberanikan diri bicara.

“Aku tak bisa terus begini, Ham. Setiap hari aku merasa seperti berjalan di atas pasir yang rapuh.”

Ilham menoleh sekilas, lalu melanjutkan memperbaiki jaringnya. “Apa maksudmu?”

“Kau tak terbuka. Kau pergi diam-diam. Apa kau mencintaiku… atau hanya tak ingin aku tahu sesuatu?”

Ilham meletakkan jarum karung di meja. Matanya menatap Rana tajam, tapi bukan marah—melainkan seolah menimbang apakah ia layak tahu sesuatu yang besar.

“Aku mencintaimu, Rana. Tapi dunia tempatku berdiri… bukan tempat yang bisa kau pahami. Aku membangun tembok karena di luar sana bukan sekadar angin. Ada badai. Dan kadang... cinta harus pakai baja, bukan bunga.”

Rana menunduk.
Ia menangis diam-diam. Bukan karena Ilham marah. Tapi karena di balik kerasnya suara itu… ia masih bisa mencium cinta yang tersembunyi—terbungkus ketakutan, atau luka yang belum selesai.

Namun sampai kapan cinta harus dibayar dengan gelap?

Dan sampai kapan Rana sanggup mencintai lelaki yang tak pernah benar-benar pulang?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama