Bab 5 – Rahasia yang Naik ke Permukaan

Rana mundur perlahan, napasnya tercekat. Cahaya senja yang masuk dari celah gudang memperlihatkan wajah laki-laki itu—tua, berkulit gelap terbakar matahari, dan luka panjang membelah pipi kanannya seperti parit perang.

“Damar…” Rana berbisik. Nama itu keluar begitu saja, seperti bangkit dari tempat yang jauh di kepalanya.

Lelaki itu—Damar—mengangguk. “Jadi Ilham tak pernah cerita padamu?”

Rana menggeleng pelan, terlalu kaget untuk merangkai kata. Damar melangkah masuk, tak menyerang, hanya meletakkan sebuah buku log laut yang lembab di tangan Rana. Halaman pertamanya ditulis tangan, dengan tinta hitam yang mulai luntur:

“Kapal kami pecah bukan karena badai. Tapi karena pengkhianatan.”
– Catatan Harian, Ilham A. R.

Pengkhianatan. Kata itu menggetarkan.

Damar duduk di peti, seperti seseorang yang lelah menyimpan terlalu lama. Ia mulai bercerita—tentang malam ketika kapal mereka karam bukan karena ombak, tapi karena Ilham sendiri memutuskan tali jangkar agar kapal hanyut ke karang. Ia ingin menghilangkan barang bukti: kapal itu digunakan untuk menyelundupkan barang—perintah dari hal-hal yang jauh lebih kuat dari hukum.

“Aku menolak. Kami bertengkar. Salah satu dari kami terbunuh. Aku terluka dan ditinggalkan,” ucap Damar dengan suara yang kering. “Ilham kembali ke daratan, membawa kisah palsu. Dan kau… menjadi jalannya untuk hidup seperti orang biasa.”

Rana terdiam. Tangannya gemetar memegang buku catatan itu. Ia mencoba menolak cerita Damar, tapi setiap detail yang ia dengar… cocok. Luka-luka yang tak pernah dijelaskan Ilham. Kebohongan-kebohongan kecil yang dulu ia abaikan. Potret itu. Kompas itu.

Denting. Lagi.
Tapi kali ini, disusul oleh langkah kaki—cepat, gugup, masuk ke halaman belakang.

Ilham.

“Rana!” serunya, lalu berhenti melihat Damar. Matanya melebar. Ia gemetar. Bukan karena takut, tapi karena sadar: rahasianya telah naik ke permukaan.

Damar berdiri. “Sudah waktunya kau menjelaskan semuanya. Pada dia,” katanya, menuding Rana.

Ilham tak menjawab. Ia hanya menatap Rana. Bibirnya terbuka, tapi tak ada suara.

Denting lagi. Ketiga kalinya malam itu. Tanda takdir berpindah tangan.

Dan Rana akhirnya bertanya, pelan, tapi dalam:
“Kau… siapa sebenarnya, Ilham?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama