Bab 4 – Jejak yang Tertinggal di Pasir
Senja belum habis ketika Rana menemukan jejak kaki asing di belakang rumahnya.
Pasir yang biasanya bersih, kini menampakkan barisan langkah—besar, berat, dan berhenti tepat di bawah jendela kamar mereka. Jejak itu tidak kembali. Hanya datang. Seolah si pemiliknya masih… bersembunyi.
Rana tak membangunkan Ilham malam itu. Tapi ia tidak tidur. Ia duduk di kursi kayu, tangan menggenggam pisau dapur yang ia sembunyikan di balik selimut. Mata menatap pintu. Lonceng di luar rumah tak bergerak, tapi bayang-bayang di dinding seolah berbisik.
Di luar, laut memantulkan bulan dengan dingin. Ombaknya tidak marah, tapi ada irama ganjil di balik deburnya. Seperti napas seseorang. Seperti langkah yang tak terlihat.
Keesokan harinya, Ilham berkata ia harus ke kota. “Perlu mencari cat tambahan,” katanya, terlalu cepat, terlalu jelas—seperti sudah disiapkan.
“Sendiri?” tanya Rana, datar.
Ilham menunduk, lalu hanya mengangguk. Dan pergi, tanpa sarapan.
Beberapa jam kemudian, Rana mencoba menenangkan diri dengan menyapu pekarangan. Tapi saat ia membuka gudang kecil di belakang rumah, tubuhnya membeku.
Di sana tergantung mantel laut—lusuh, basah, dan bukan milik Ilham.
Di bawahnya, sebuah kotak kayu kecil yang dulu tidak pernah ada. Saat Rana membukanya, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya surut ke jantung:
– Kompas tua yang rusak.
– Potret Ilham bersama dua lelaki lain, salah satunya memiliki luka panjang di pipi.
– Dan sebuah medali logam, dengan inisial: D. A.
Denting.
Tiga kali.
Lonceng berdenting. Tanpa angin. Tanpa alasan.
Rana segera menutup kotak itu, tapi terlambat. Ada seseorang di balik pintu gudang. Berdiri. Menghela napas.
Suara pria. Serak, namun jelas.
“Akhirnya, kau temukan.”
Rana tak bisa berteriak. Karena ia mengenal suara itu.
Bukan Ilham. Tapi suara yang muncul di mimpi-mimpinya.
Suara yang semestinya sudah tenggelam di lautan bertahun-tahun lalu.
Komentar
Posting Komentar